Nama Pulo Manuk sebenarnya sudah jauh lebih terkenal pada era penjajahan Jepang. Pada zaman penjajahan Jepang, sekitar tahun 1942-1945, Pulo Manuk dan Bayah dikenal sebagai daerah utama batu bara, yang pada saat itu digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik. Para pekerja pertambangan ini adalah para romusha yang didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, dan Yogyakarta. Di Pulo Manuk dibangun stasiun kereta api untuk jalur Pulo Manuk-Bayah-Saketi-Rangkasbitung, dan merupakan jalan kereta api yang sangat produktif pada masanya. Kereta api ini adalah kereta api yang membawa batu bara dan hasil alam lainnya dari daerah Banten Selatan
Sejarah Romusha di Pulo Manuk-Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang terabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana. Pada saat pemerintahan Jepang, Kawasan Pulo Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulo Manuk karena keindahan alamnya. Jalur kereta api Pulo Manuk-Bayah-Rangkasbitung, dihancurkan pejuang Indonesia pada masa perang kemerdekaan sekitar tahun 1948, dan semenjak itu Pulo Manuk menjadi tempat terisolir yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki. Akses melalui Pulo Manuk untuk kendaraan, dibuka kembali sejak dibangunnya jalan lintas Bayah-Pelabuhan Ratu tahun 1989-1991; sedangkan untuk akses langsung ke Pantai Pulo Manuk sendiri, terbuka semenjak dibangun jalan Bayah - Sawarna sekitar tahun 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar